Home » » OTTO SYAMSYUDDIN Aceh: Dalam Imajinasi Politik Keindonesiaan

OTTO SYAMSYUDDIN Aceh: Dalam Imajinasi Politik Keindonesiaan

Written By Unknown on Monday, May 7, 2007 | 5:36 AM

Doc: OPINI OTTO
Memandang Aceh bisa dilakukan dengan dua cara, yakni dari dalam dan luar Aceh। Kedua cara pandang itu tentu bisa pula menghasilkan potret yang kontradiktif. Kontradiksi itu bisa dijembatani bila kita menggunakan sejarah atau kronik sebagai basis untuk menggelembungkan pemikiran tentang Aceh, khususnya Gerakan Aceh Merdeka.
Tampaknya, opini Toto Sugiarto, "Tarian Politik Gerakan Aceh Merdeka" (Koran Tempo, 6 Desember 2006), sama sekali tidak berbasis pada kronik, tapi sepenuhnya dapat dikatakan sebagai pengembangan imajinasi politik keindonesiaan। Akibatnya, dari sikap Toto itu terlihat sejumlah jabaran yang berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan tentang mengapa GAM tidak membentuk partai politik lokal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan mengapa GAM tidak mengajukan kandidat dalam pilkada।
Lalu bagaimanakah bentuk penggelembungan imajinasi yang berbasis pada kronik Aceh, khususnya GAM itu, sehubungan dengan opini Toto Sugiarto? Propaganda politik yang pertama kali ditiupkan pascapenandatanganan nota kesepahaman (MOU) Helsinki adalah sudah waktunya GAM bubar। Dalih mereka adalah perdamaian sudah dicapai, dan sebagai perwujudan niat baik GAM, sudah waktunya GAM membubarkan
Dalih untuk membubarkan GAM sama sekali tak masuk akal sehat orang Aceh। Apa jadinya bila sebuah perjanjian antarpihak, ketika masuk tahap implementasi, tiba-tiba satu pihak membubarkan diri? Tentu secara otomatis perjanjian itu batal. Konsekuensi logisnya, perdamaian pun bisa dibatalkan, lalu operasi militer dengan sendirinya bisa dilanjutkan.Apalagi, dalam mukadimah dan item-item perjanjian Helsinki, tidaklah disebutkan bilamana dan bagaimana GAM dibubarkan. Hal yang terjadi adalah transformasi Tentara Nasional Aceh menjadi Komite Peralihan Aceh (nonmiliter). Secara institusional, gerilyawan telah mentransformasi diri menjadi warga sipil. Namun, tentu transformasi diri ini bukanlah proses bak mengerdipkan mata. Masalahnya: siapakah yang akan menjadi katalisatornya? Berapa lama proses transformasi itu dibutuhkan?
Momentum transformasi kedua adalah perubahan menjadi sebuah partai politik Aceh। Di sini hal yang menjadi pertanyaan: GAM atau Komite Peralihan Aceh (KPA) yang akan bermetamorfosis menjadi partai politik? Apalagi wujud GAM di Aceh sepenuhnya berupa sebuah organisasi gerilyawan. Sekalipun selama perang sangat intensif propaganda adanya GAM berdasi, LSM Aceh berafiliasi pada GAM, Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) sebagai sayap politik GAM, dan seterusnya, dalam kenyataannya GAM tidak memiliki anggota nongerilyawan. Dari sisi lain, hal ini merupakan konsekuensi logis dari betapa intensif dan masifnya perang yang digelar RI di Aceh. Setiap individu tidak memiliki pilihan selain memanggul senjata atau mendukung gerilyawan, diam di Aceh, keluar dari Aceh, atau menjadi kaki-tangan serdadu.
Momentum menjadi partai lokal diwujudkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang disahkan pada 11 Juli 2006 dan dilaksanakan sesuai dengan adanya peraturan pemerintah (dalam proses). Sedangkan pilkada Aceh dilangsungkan pada September-Desember 2006, sehingga amatlah keliru bila membangun imajinasi politik bahwa GAM menahan diri "membentuk partai baru".
Share this article :

0 komentar:

Populer

 
Support : acehbaru.com | acehbaru.tv | atjehbaru.com
Copyright © 2014. acehbaru - All Rights Reserved
Modify by acehbaru
Proudly powered by Blogger